Lebaran dengan Kompor Mati: Misteri Keluarga Kami dan Opor yang Tak Pernah Habis

Perayaan Idul Fitri di keluarga saya memiliki ciri khas tersendiri. Sementara saya dan orangtua adalah Kristen Katolik, kedua belah paman dan nenek dari ibu saya mengikuti agama Islam. Meski tak memasak hidangan lebaran sendiri, selalu ada sajian yang melimpah karena adanya tradisi pembagian makanan antar anggota keluarga. Tradisi ini telah terjaga sejak lama hingga generasi kita saat ini.

Sejujurnya, saya dan keluarga termasuk ke dalam kategori "penerima santunan" selama perayaan Lebaran. Bukan karena kami enggan membantu, tetapi prosesnya telah tertata dengan baik: mereka yang Muslim mempersiapkan hidangan, sementara orang-orang Katolik merasakan kenikmatannya. Sistem ini mirip dengan prinsip subsidi saling menguntungkan, namun disajikan melalui opor ayam dan ketupat.

Belum Pernah Memasak, Tetap Tidak Merasa Kelaparan

Sejak masih anak-anak, saya sudah menyadari bahwa keluarga kami tak pernah bersusah-payah membuat hidangan Lebaran sendiri di rumah. Tak terlihat opor menggolak di atas kompor, lontong dikemas dengan janur, atau wangi rendang serta sambal goreng meresap dari dalam dapur. Namun demikian, hal itu sama sekali bukan berarti kita melewatinya begitu saja. Malahan justru sebaliknya.

Tiap tahun, Budhe dan Simbah Putri dari keluarga ibu secara otomatis selalu masak dalam jumlah banyak dengan perencanaan: menghitung penduduk di rumah ditambah kerabat Katolik yang kemungkinannya akan singgah. Jika terdapat penambahan keponakan yang telah berkeluarga dan membawa istrinya, cukup tambahkan saja porsinya.

Saya mengingat bahwa dahulu saya pernah menanyakan kepada Bu Dhea, "Bu Dhea kenapa memasak begitu banyak? Nanti tidak akan habis bagaimana?"

Jawabannya dia singkat saja: "Tentu saja. Nantinya akan ada banyak orang yang berkunjung."

Saat lebaran tiba, rumah Budhe memang terlihat seperti restoran all-you-can-eat gratis. Kami datang, duduk, dan diminta untuk makan seolah telah membayar paket bufet di sebuah hotel berbintang lima.

Budhe kebanyakan memulai dengan kata-kata "Sini dahulu, makan dulu."

Kemudian diikuti dengan "Opornya masih hangat loh, rasanya sangat lezat. Ingin menambah?"

Selanjutnya puncaknya ialah "Apakah sudah membawa Tupperware? Jika belum, biarkan saya yang mengantarkannya."

Di tempat ini, tak seorang pun pulang dengan tangan hampa. Jika ada yang berani menolak, Budhe akan tampakbingung dan menggunakan argumen terakhirnya," Lho, kenapa enggan? Ini kan masih banyak lauknya, nanti malah disayangkan kalau dibuang."

Jadi, begitulah, apakah kita senang atau tidak, membawa rantang menjadi bagian tak terpisahkan dari adat Lebaran.

Rumah Rapi Namun Meja Harus Terisi

Walaupun belum memasak, itu bukan berarti rumahku bebas dari nuansa Lebaran. Kami masih menaati tradisi namun dalam skala sederhana: kami letakkan camilan kering di atas meja serta minuman kaleng siap saji.

Tentu saja hal ini bukanlah suatu taktik yang licin. Kita tak langsung menukar opor dengan biskuit kalengan begitu saja. Kami sadar adanya norma-etika saat menyambut tamu. Oleh karena itu, kudapan Lebaran semacam nastar dan kastengel masih tersedia di atas meja.

Sebagai seorang ibu dari tiga orang anak, saya menyadari bahwa terdapat sebuah aturan pokok mengenai cara menyiapkan kue Lebaran di rumah kita: siapa pun yang membelinya akan menjadi milikku, namun mereka yang makan habis lebih dulu adalah anak-anak ku.

Pada suatu kali, saya membeli satu toples kue nastar lima hari sebelum Idul Fitri dengan harapan bahwa persediaan tersebut akan cukup hingga hari H. Namun ternyata, hanya dalam jangka waktu dua hari, separuh dari isi toples itu telah hilang tanpa jejak.

"Siarakah yang memakannya?" tanyaku dengan nada bertanya.

Si sulung saya segera memperhatikan atap, berpura-pura tak mengerti.

Ke curigaanku ternyata benar esok hari saat menyaksikan si sulungku duduk di hadapan televisi sambil mempunyai serpihan kue nastarnya menempel di bajunya.

Sudahlah, yang bisa kulakukan hanyalah pasrah dan membelinya lagi. Menginginkan kuenya selalu utuh sampai Lebaran setara dengan harapan agar jalur tol Jakarta-Semarang kosong saat arus balik.

Pertemuan Tamu untuk Mengikat Hubungan dan Kekonspirasian Bertukar-Kembalikan Bunga Hias

Salah satu kebiasaan penting lainnya adalah berkeliling untuk mengunjungi orang lain.

Pada hari pertama Lebaran, kediaman Budhe dan Simbah senantiasa menjadi tempat utama berkumpul. Kita tiba, makan, bercengkerama, tertawa-tertawa, kemudian... memasuki babak "bertukar kado."

Skenario ini selalu terjadi:

1. Rumah tangga Muslim menghidangkan berbagai macam masakan.

2. Keluarga Katolik tiba lalu diundang untuk berbuka puasa.

3. Sudah kenyang, kemudian diajak membawa pulang.

4. Mengatakan "tidak perlu ribet," namun masih dipaksakan untuk menerima separuhnya.

5. Di rumah, makanannya yang dibawa oleh Budhe diletakkan di atas meja.

6. Para tamu yang lain tiba, lalu mereka membagi makanan tersebut lebih lanjut.

Hingga mencapai suatu tahap, ada satu jenis makanan yang secara tidak terduga kembali ke kepemilikan Budhe. Saya menduganya bahwa opor yang diberikan oleh beliau kepada saya tahun sebelumnya, dengan cara apa pun itu, telah mengalami putaran dan akhirnya kembali lagi ke dapur miliknya.

Namun, Budhe tak pernah kesal. Ia cuma terkikik lalu menjawab, "Hal utama adalah tidak membuang-buang uang."

Satu Meja, Banyak Cerita

Idul Fitri di keluarga kami lebih dari sekedar sahur dan berbuka puasa; itu adalah tentang persatuan antar umat beragama. Saya dibesarkan dalam suatu lingkaran sosial yang menyadari bahwa keragaman keyakinan tak menjadi penghalang bagi rasa cinta dan kasih sayang di kalangan keluarga.

Di atas meja makan Bu De, tak terdapat pertanyaan-pertanyaan yang mencolok semacam "Mengapa enggan berpuasa?" ataupun "Bukannya sebaiknya ganti keyakinan agar mendapatkan Tunjangan Hari Raya dengan jumlah yang lebih besar?".

Hanya terdapat pertanyaan-pertanyaan universal semacam ini:

Kapan kami menambah jumlah anak lagi? Mereka sudah tumbuh dewasa.

Kenapa yang kecil itu semakin menyerupai ayahnya ya?

Loh, tahun ini tidak mudik ke kampung halaman?

Pada intinyanya, di rumah Budhe, agama tidak membangun pembatas, tetapi hanyalah latar belakang yang kaya akan warna.

Saya mendapatkan pelajaran berharga dari Lebaran lintas iman ini: tak perlu serupa agar dapat berkumpul bersama di meja yang sama.

Tidak penting untuk berselisih tentang perbedaan dalam kepercayaan. Tidak diperlukan lagi diskusi mengenai siapa yang lebih tepat. Pada dasarnya, iman adalah halangan antara diri sendiri dan Tuhan, namun menjaga tali persaudaraan menjadi tanggung jawab kita bersama.

Dan menurut pendapat saya, setiap tahun, opor dan ketupat dari Budhe merupakan bentuk cinta tanpa perlu adanya penanda agama.

Selamat Lebaran untuk semua!

Untuk yang merayakan, mohon maaf lahir batin.

Untuk mereka yang belum mencicipinya, selamat merasakan hidangan yang dikirim oleh tetangga.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak