
Gagalnya versi remake film "Snow White" milik Disney dalam hal penilaian publik maupun performanya di bioskop telah menghidupkan lagi diskusi antara penggemar serta kritikus film. Berbagai pihak menunjukkan pandangan mereka dengan menyatakan bahwa fokus utama pada aspek-aspek sosial progresif—yang kerap dikenal sebagai 'woke'—lebih tinggi daripada kualitas cerita atau daya tarik umum bagi audiens sebenarnya adalah faktor penyebab masalah finansial yang muncul. Kejadian seperti ini tampak semakin penting di zaman modern saat para konsumen mulai lebih peka tentang nilai-nilai yang dipromosikan oleh brand dan perusahaan, menciptakan ungkapan baru yaitu “Go Woke, Go Broke”. Oleh karena itu, apakah strategi ‘woke’ pada film "Snow White" benar-benar menjadi alasan gagalnya secara komersial?
Kekhawatiran Seputar Penunjukan Aktor Utama dan Pandangan Masyarakat
Terpilihnya Rachel Zegler, seorang aktris berkewarganegaraan Latin, sebagai tokoh utama dalam film "Snow White" menjadi sumber utama dari kontroversi yang cukup besar. Banyak kritik pertama kali fokus pada masalah etnis karena deskripsi tradisional tentang Snow White adalah dia memiliki kulit putih seperti salju. Beberapa figur konservatif serta publik di media sosial bertanya-tanya kenapa Disney memutuskan untuk menggunakan aktor dengan asal-usul suku lain daripada wanita berketurunan Kaukasian untuk peran yang sudah melegenda. Rachel Zegler pun angkat bicara soal polemik itu. Ia bangga bisa jadi “Puteri Latina” dan mencatat betapa populer-nya karakter Snow White di negera-negera Amerika Latin. Selain itu, ia jelaskan bahwa versi cerita ini bakal buka ruang interpretasi baru atas frasa ‘kulit putih bagai salju’. Frase tersebut dikait-kaitkan dengan badai salju saat kelahiran Snow White, simbolisasi hal ini ialah tentang ketabahan karakter Snow White. Namun demikian, klarifikasi semacam ini tak berhasil menenangkan semua protes para penonton setia yang merasa transformasi drastis dari gambaran fisik karakter legendaris itu benar-benar sulit ditolerir. Dengan ekspektasi konsumsi budaya yang dibentuk oleh generasi-generasi sebelumnya terhadap wujud Snow White, perubahan ini tetap saja menjadi batas toleransi bagi banyak orang.
Di luar kontroversi berkaitan ras, ucapan-ucapan yang dilontarkan Rachel Zegler sebelum rilis film turut mengeruhkan pandangan publik menjadi semakin buruk. Di beberapa wawancara, Zegler tanpa ragu-ragu menukil kelemahan dari kartun animasi Disney “Snow White and the Seven Dwarfs” era 1937; ia menyatakan ceritanya sudah usang dalam mencerminkan kepribadian wanita kuat serta hubungan romantis di antara tokoh-tokohnya seperti suatu fenomena aneh dimana sang prajurit kerajaan tampak mendekaminya. Ucapan itu dinodai sebagai serangan langsung kepada penciptaan ikonis bagi para fans movie classic tersebut. Lebih lanjut lagi, dia jelaskan versi remake tahun 2025 bakal meluruskan garis waktu petualangan Snow White guna belajar bagaimana menjadi sosok pembawa perubahan dan eksplorasi identitas sendiri bukannya pasrah dipertolong oleh lelaki berkuasa atau membayangkan sebuah kasih abadi. Transformasi aransemen plot ini bersama dengan pendapat rendah atas original work telah tak sadar membuat gerbang masalah dengan mayoritas pecinta setia yang merasakan jejak masa depan mereka dikotori. Pandangan skeptis terhadap karakter individunya dan juga pelaku utama Snow White pun tumbuh, dampaknya sampai pada ketidakminatan potensi hiburan di hadapan sekelompok besar konsumen nantinya.
Kritikan Tentang Pendekatan "Woke" serta Modifikasi Bahan Referensi
Tindakan "woke" yang diterapkan dalam film "Snow White" (2025) telah menjadi salah satu alasan utama mendapat kritik keras yang menyebabkannya gagal. Disney dengan jelas membuat film tersebut sebagai sebuah cerita tentang perkuatan wanita, di mana karakter Snow White ditampilkan tak lagi bersifat pasif menanti pertolongan, tapi malah tampil sebagai pemimpin pemberontakan terhadap Ratu Jeleka. Walaupun konsep modernisasi naskah dongeng lama bisa disetujui beberapa kalangan, pelaksanaannya dalam "Snow White" dinilai oleh banyak orang sebagai upaya paksaan untuk mencampur adukkan isu-isu sosial masa kini sehingga mengabaikan daya tarik serta sensasi dari versi asli ceritanya. Beberapa modifikasi plot lainnya juga dikatakan merupakan bagian dari gaya hidup "woke", misalnya perombakan awal mula nama Snow White. Di edisi ini, namanya ngga cuma sekadar referensi kepada warna kulit putihnya saja, melainkan juga hubungan erat sama badai salju waktu ia dilahirkan. Tambahan lagi, sang tokoh favorit kita tertarik pada sesosok manusia biasa, yakni seorang pemberontak kurus lapar bernama Jonathan, bukan Pangeran Kaya layaknya dalam rancangan semula. Modifikasi-modifikasi tersebut, walaupun bertujuan baik untuk membawa sudut pandang baru, ternyata dirasakan oleh segelintir penonton sebagai hilangnya unsur-unsur simbolis dan penting dari legenda populer tersebut.
Di luar modifikasi pada cerita dan tokoh protagonis, pergantian paling kontroversial ada dalam representasi tujuh kurcaci tersebut. Sebagai ganti tujuh kurcaci konvensional, produksi kali ini memperkenalkan sekumpulan entitas digital bernama "makhluk magis" dimana para aktornya berasal dari ragam etnis, jenis kelamin, serta postur tubuh yang berbeda-beda. Hal ini mendapat protes keras dan rancunya dari publik. Para artis berskala mungil merasa dirampas peluang pekerjaan signifikan mereka, sedangkan tampilan figur hasil komputer grafis dinilai 'asing' dan tak atraktif oleh mayoritas penonton. Tambahan lagi, beberapa lagu legendaris dari versi kartun semula, contohnya "Someday My Prince Will Come," telah dipotong atau direvisi ulang. Bagian musik klasik tersebut menjadi elemen esensial untuk nuansa emosi dan kenangan nostalgis film animasi awalnya; sehingga hilangnya hal-hal demikian diartikan sebagai suatu kemunduran. Dengan begitu, variasi drastis tersebut membuat film jadi kehilangan pesona bagi kalangan penonton yang sangat menjunjung setia kepada naskah asli.
Perbedaan dengan Gagalnya Adaptasi Disney yang Lain
Gagalnya "Snow White" (2025) bukan merupakan fenomena tunggal di tengah arus adaptasi live-action dari Disney. Sejumlah film adaptasi lain pun telah menerima ulasan negatif serta mencatat kerugian komersial. Di antaranya ada "Alice in Wonderland" (2010), "Alice Through the Looking Glass" (2016), "Dumbo" (2019), "The Lion King" (2019), "Mulan" (2020), dan "Pinocchio" (2022). Membandingkannya dengan film-film tersebut menunjukkan adanya kesamaan kritis yang serupa. Salah satu masalah utama dalam ulasan tentang adaptasi Disney yang tak berhasil adalah kualitas CGI-nya yang dinilai rendah atau kurang memuaskan. Pada kasus "Snow White," visual CGI bagi para kurcaci ditegur karena tampak aneh dan kurang nyata. Pengubah-an karakter yang tak digemari dan plot yang dirasa paksa atau tidak seiman dengan bahan aslinya turut jadi sorotan kritikan. Berbagai penonton menyebut kalau adaptasi ini hilangkan “keajaiban” dan daya tarik versi kartun awalnya.
Di samping itu, telah muncul sentimen di antara para penggemar yang merasa lelah dengan jumlah besar remake live-action Disney. Sebagian orang cenderung lebih menyukai konten original atau film animasi baru dibandingkan hanya melihat kembali cerita lama meski sudah memiliki tampilan visual yang berubah. Gagalnya "Snow White" semakin meyakinkan bahwa bukan setiap film animasi Disney harus diremakenakan, apalagi jika hal tersebut mengurangi pesona serta inti ceritanya. Berdasarkan data, debut "Snow White" sangat jauh dari harapan dan secara drastis kurang dibanding sejumlah adaptasi live-action Disney lainnya, terutamay ang dianggap berhasil dalam segi bisnis. Nilai skor baik dari kritikus maupun audiens yang rendah pun mencerminkan respons publik yang umumnya negatif atas rilisan ini.
Dampak Skandal Artis pada Kebijakan Produksi
Perdebatan tentang Rachel Zegler serta beberapa kebijakan produksi turut menjadi faktor utama dalam kurang suksesnya film "Snow White" (2025). Ucapan politik Zegler, seperti mendukung Palestina dan mengkritisi mantan presiden AS Donald Trump, telah mendorong respons tajam beserta panggilan boycott oleh segelintir penonton, lebih banyak dari kelompok konservatif. Anak laki-laki sang produser, Jonah Platt, dengan jujur mengkritik Zegler karena “statemen politik”-nya dan menuding bahwa hal itu dapat merugikan hasil film tersebut. Laporan juga menyebutkan adanya meningkatnya ancaman pada nyawa co-star-nya, Gal Gadot, warga negara Israel, sebagai dampak dukungan Zegler kepada Palestina. Keadaan ini membuat reputasi film semakin rusak sambil menciptakan gambaran buruk seputar proses pembuatannya. Kontroversi politik yang melilit pemeran utama secara substansial mempengaruhi persepsi publik terhadap film tersebut sehingga penggemarnya pun berkurang, apalagi ketika suasana politik sedang sangat polarisasi.
Pada dasarnya, keberhasilan film "Snow White" (2025) telah gagal karena beberapa alasan interrelated tersebut. Perselisihan tentang penentuan aktor protagonis serta komentar negatif dari artis Rachel Zegler sebelum peluncuran film ini membuat opini publik menjadi tidak baik semenjak permulaan. Penyampaian tema modern dalam film ini, termasuk modifikasi substansial pada cerita, tokoh-tokohnya, dan unsur-unsur populer dari material asli, menjauhkan fans lama dan dianggap sebagai usaha paksa untuk memberikan pesan-pesan kontemporer. Bandingannya dengan keruntuhan adaptasi Disney lainnya menyoroti kritik mirip, terlebih soal mutu grafis 3D yang mengecewa kan dan kurangnya rasa “ajaib” ketimbang edisi animasi pertamanya. Di atas itu semua, perseteruan politik melibatkan sang bintang wanitadan putusan pembuat film diragukan misalkan penyajian para kurcaci atau perganti an karakter si Putera juga mengeruhkan respon positif film kepada massa umum. Kesemuanya membantu mendongkrak hasil bisnis layar lebar yang mengejutkan dan tinjauan kritis rendah sehingga secara keseluru han tanda akan kemunduran film "Snow White"(2025).