Rusia Sampaikan Ultimatum Tajam ke AS: Tujuan Sejati Putin dalam Mengakhiri Konflik Ukraina

Rusia sudah menyampaikan serangkaian permintaan kepada Amerika Serikat guna mendapatkan persetujuan yang mungkin akan menyelesaikan konfliknya dengan Ukraina serta memulihkan kemitraannya dengan Washington.

Akan tetapi, gambaran lengkap dari tuntutannya masih belum terungkap, dan tidak ada kejelasan apakah Rusia siap berunding dengan Ukraina sebelum ketentuan-ketentuannya dipatuhi.

Menurut laporan Reuters pada 13 Maret 2025, para pejabat dari Rusia dan Amerika Serikat telah menjalani diskusi langsung bersama dengan rapat daring sepanjang tiga minggu terakhir guna menanggapi beberapa permintaan yang disampaikan oleh Kremlin.

Permintaan itu luas, serupa dengan yang pernah disampaikan ke Ukraina, Amerika Serikat, dan NATO.

Tuntutan Awal Rusia

Beberapa kondisi awal yang dijelaskan oleh Rusia meliputi sejumlah aspek penting.

Antara lain ada permintaan supaya Ukraina tidak jadi bagian dari NATO dan kesepakatan untuk menghindari penempatan pasukan luar di Ukraine.

Di samping itu, Rusia meminta pengakuan global terhadap klaim Presiden Vladimir Putin tentang Krimea serta empat wilayah di Ukraina yang sudah diduduki pasukan Rusia.

Rusia meminta pula kepada AS dan NATO untuk mengatasi hal yang disebutnya sebagai "penyebab utama" konflik, seperti penyebaran NATO ke arah timur yang dilihat Rusia sebagai hambatan.

Negosiasi Kesepakatan Damai serta Potensinya Sebagai Penyelesaian

Pada saat yang sama, Presiden Amerika Serikat Donald Trump masih menantikan respons dari Presiden Vladimir Putin tentang kebijakan gencatan senjata berdurasi 30 hari tersebut.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mengumumkan bahwa dirinya akan menyetujui gencatan senjata itu sebagai tahap awal dalam arahannya untuk negosiasi perdamaian.

Akan tetapi, kesanggupan Putin untuk mendukung gencatan senjata masih diragukan, dan aspek-aspek spesifik dari hal tersebut belum mencapai titik sepakat.

Sejumlah petinggi Amerika Serikat, anggota parlemen, serta ahli global prihatin bahwa Putin, seorang mantan perwira KGB, berpotensi akan menggunakan gencatan senjata ini untuk menguatkan usaha membongkar kemitraan di antara AS, Ukraina, dan Eropa. Hal itu bisa jadi akhirnya merugikan prospek perdamaian dalam negosiasi tersebut.

Rusia Tetap Tidak Berkompromi

Rusia sudah menyampaikan berbagai macam keluhan semacam itu dalam dua puluh tahun terakhir.

Sebagian sudah termasuk dalam pembicaraan resmi bersama AS dan negara-negara Eropa.

Permintaan ini mencakup batasan pada operasi militer Amerika Serikat dan NATO di wilayah dari Eropa Timur sampai Asia Tengah.

Pada tahun 2021 dan 2022, Rusia juga menyampaikan tuduhan sejenis terhadap administrasi Presiden Joe Biden ketika ribuan pasukan militer Rusia ditempatkan di perbatasan Ukraina siaga untuk menerima instruksi melakukan serangan.

Beberapa permintaan tersebut meliputi pembatasan kegiatan militernya Amerika Serikat dan NATO di wilayah Eropa Timur serta pemasangan rudal-rudal AS di benua Eropa.

Upaya Sebelumnya Gagal

Walaupun pemerintah Biden mencoba menangani ancaman serangan dari Rusia dengan memasukkan Rusia ke dalam pembicaraan terkait beberapa tuntutan yang diajukannya, usaha itu tidak berhasil.

Akhirnya, pada tanggal 24 Februari 2022, Rusia menggelar serangan terhadap Ukraina, hal ini menjadi titik awal dari konflik berskala besar tersebut.

Rapat Perdamaian yang Tidak Sukses di Istanbul

Rusia dan Ukraina sempat mengikuti pembicaraan perdamaian di Istanbul pada tahun 2022.

Pada rapat itu, Rusia mengharuskan Ukraina untuk melepaskan hasratnya menjadi anggota NATO dan menyepakati posisi netral tanpa senjata nuklir secara tetap.

Di samping itu, Rusia menuntut hak vetonya untuk melumpuhkan usaha bantuan ke Ukraine apabila pecah perang.

Akan tetapi, kesepakatan yang dituangkan dalam diskusi di Istanbul tak pernah direalisasikan.

Walaupun begitu, sejumlah petinggi dari Amerika Serikat dan Rusia meyakini bahwa rancangan kesepakatan yang didiskusikan saat itu dapat membuka jalan untuk negosiasi perdamaian yang lebih komprehensif.

Namun, kesepakatan tentang cara terus melanjutkan pembicaraan ini belum juga dicapai.

Kekhawatiran di AS

Pemerintahan Trump, yang tadinya berpartisipasi dalam dua pembicaraan terpisah—satu membahas tentang membangun kembali ikatan antara Amerika Serikat dan Rusia serta satunya lagi berkaitan dengan kesepakatan perdamaian di Ukraina—masih belum menyampaikan pandangan yang pasti tentang strategi mereka dalam bernegosiasi dengan Rusia.

Kelompok tersebut sepertinya berbeda pendapat tentang langkah selanjutnya dalam proses ini.

Duta Besar AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, yang juga memimpin pembicaraan bersama Moskow, menyebut pertemuan di Istanbul sebagai "perundingan yang meyakinkan dan substansial."

Namun, pensiunan Jenderal Keith Kellogg, duta besar terkait dengan Ukraine dan Russia bagi Trump, menyatakan bahwa perjanjian Istanbul tak dapat dijadikan sebagai dasar awal.

"Menurut saya, kita perlu menciptakan sesuatunya sungguh-sungguh yang berbeda," katanya.

Permintaan Tak Bergerak dari Russia

Sejumlah pakar mengatakan bahwa permintaan dari Russia tak cuma bertujuan mencapai perjanjian terakhir dengan Ukraine, tapi juga ingin menjejaki dampaknya pada kesepakatan dengan negara-negara Eropa dan Amerika yang menyokong Ukraine.

Permintaan dari Rusia telah tetap stabil sepanjang beberapa dasawarsa terakhir dan menekankan pengurangan kapabilitas Barat dalam meningkatkan kedudukan militernya di Benua Eropah.

Angela Stent, seorang pakar dari lembaga Brookings Institution dan mantan pengamat intelijen Amerika Serikat untuk urusan Rusia, menyebutkan bahwa sepertinya Moskow tak memiliki minat dalam memberikan koncessi atau membina kedamaian substantif.

"Permintaan mereka tetap sama tanpa ada perubahan. Menurut saya, sepertinya mereka sebenarnya tidak terlalu peduli dengan perdamaian atau gencatan senjata yang sungguhan," katanya.

Rusia Telah Menaikkan Tuntutannya Secara Konsisten Sejak 1945

Kori Schake, mantan pegawai Pentagon yang saat ini berkarir di American Enterprise Institute, menyebutkan bahwa permintaan Rusia tidaklah menjadi sesuatu yang baru. Menurutnya, "Permintaan semacam itu sudah pernah disuarakan oleh Rusia sejak tahun 1945."

Schake juga menunjukkan bahwa langkah-langkah yang diambil pemerintah Trump akhir-akhir ini mengkhawatirkannya Eropa, tidak hanya karena potensi penarikan diri Amerika Serikat dari mereka, melainkan juga tentang apakah AS sudah mendukung musuh-musuh mereka.

Rusia masih menuntut kepada Amerika Serikat dan NATO agar mengurangi aktivitas militernya di Eropa dan Asia Tengah sebagai bagian utama dalam diplomasi internasionalnya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kedudukannya di wilayah-wilayah itu.

Moshe Yaalon: 15.000 Tentara Israel Sudah Gugur dan Luka Parah Dalam Pertempuran Genosida Di Jalan Gaza

(/ Sri Anggun Oktaviana)

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak